Minggu, 23 September 2018

ANAK PENGUSAHA TAJIR DAN YANG KAYA, YANG SEDERHANA, YANG FOYA-FOYA

Bandar Togel - Jakarta

Tak semua anak orang kaya melewatkan muda dengan hidup gila-gilaan. Namanya Marcus, bukan nama sebenarnya. Keluarganya, menurut dia, memang tak sekaya keluarga Martin Hartono, generasi ketiga Grup Djarum. Tapi, diukur dari standar mana pun, keluarganya pasti masuk daftar salah satu keluarga paling tajir di Nusantara. Salah satu pamannya ada di daftar keluarga tajir melintir versi Globe Asia. Ayahnya, menurut Marcus, meski tak masuk daftar, sebenarnya juga tak kalah tajirnya.

Entah bosan pada kemewahan, entah tak suka pamer kekayaan,bukan Mercedes, BMW atau Lexus, yang jadi kendaraan ayahnya sehari-hari. Mobil sehari-hari ayahnya 'hanya' Honda City. Dan percaya atau tidak, sehari-hari Marcus naik sepeda motor Honda Supra Fit ke kantornya. Bagi Marcus, keuntungan bagi orang kaya seperti dia adalah tak pusing soal nasib pekerjaan. "Aku tak peduli bakal dipecat atau nggak jika bikin masalah di kantor."

Tapi ada pula anak orang kaya seperti Kevin, juga bukan nama sebenarnya.Turun-temurun keluarganya sudah kaya raya. Sejak lahir, Kevin tidak pernah kenal yang namanya tak punya duit, bergaul pun di lingkungan yang punya kekayaan setara dengan keluarganya. "Semuanya serbagampang.... Sejak kecil, aku selalu mendapatkan apa yang aku mau," kata dia. "Pengin melihat tulang dinosaurus yang sebenarnya? Ibuku membawaku terbang ke Amerika Serikat. Mau melihat singa seperti di film Lion King? Aku piknik ke Afrika Selatan saat umur 7 tahun."

Setelah menginjak remaja, Kevin mulai kenal dengan barang-barang mahal. "Mobil pertama yang aku kendarai adalah Ferrari Berlinetta yang aku tabrakkan ke Mercedes-Benz S500 milik ayahku saat aku belajar menyetir," ujar Kevin. Dua tahun kemudian, dia mendapat hadiah mobil. "Aku dapat Porsche 911 untuk hadiah ulang tahun ke-16." Tentu saja itu bukan mobil dia satu-satunya. "Saat SMA, mobil sehari-hariku adalah Range Rover." Dia minta Range Rover kepada ayahnya lantaran ingin beda dengan teman-temannya yang membawa BMW dan Mercedes-Benz.

Cucu konglomerat Budi Brasali, Ariel Brasali, di Dubai

Jika ada anak yang lahir dengan sendok emas di mulutnya, salah satunya barangkali adalah Cipta Harun, 25 tahun. Cipta, putra pasangan Harun Hajadi dan Juanita Ciputra, merupakan cucu konglomerat Ciputra. Sejak dia muncul di dunia ini, keluarganya sudah kaya raya.

Kini Grup Ciputra merupakan salah satu konglomerasi besar di Indonesia. Bisnisnya membentang dari ujung ke ujung Indonesia hingga ke Vietnam. Dari perumahan, hotel, pusat belanja, apartemen, konstruksi, kelapa sawit, sampai teknologi informasi. Tapi meski cucu Ciputra, Cipta mesti merintis karier dari bawah di perusahaan yang didirikan kakeknya.

“Digaji pun sama dengan staf lain,” Cipta menuturkan kepada kami beberapa waktu lalu. Sebagai anggota keluarga Ciputra, Cipta juga mesti bekerja keras menunjukkan kemampuan. Jika dipandang tak mampu, menurut Cipta, mereka tak akan ‘dipaksa’ atau ‘memaksa’ menempati posisi kunci di perusahaan.

Indra Djokosoetono,  cucu pendiri grup Blue Bird, di Yunani

Di perusahaan keluarganya, yang penting adalah kemampuan, bukan pamer kekuasaan, apalagi pamer kekayaan. Dalam soal kesederhanaan, Cipta menunjuk kakeknya sendiri sebagai contoh. Meski mampu beli semua yang dia mampu, Ciputra bukan orang yang doyan barang mewah. Rumahnya yang sangat lapang memang berada di lingkungan paling elite di kawasan mahal Pondok Indah. Tapi tak banyak barang mewah di rumahnya yang adem.

“Pak Ci nggak pernah mikirin mau pakai baju merek apa atau mobil jenis apa,” kata Cipta soal kakeknya. Mobil Ciputra ‘hanya’ Toyota Alphard lama. Konon, mobil itu sudah beberapa kali mogok di jalan. Soal makan, bagi kakeknya, Cipta bercerita, lebih penting sehat ketimbang mahal semata. Baju pun yang jadi pertimbangan nomor satu, bukan soal mereknya apa, tapi kenyamanan. “Sepatu dia cuma punya satu New Balance warna hitam yang sudah entah berapa tahun. Nggak ganti-ganti.”

Ezra William, putra pengusaha properti, saat di Paris

Menurut Kevin dan Marcus, punya duit Rp 500 miliar dengan Rp 5 triliun rasanya sudah tak banyak lagi bedanya. "Aku yakin, rasa nasi gorengku pasti sama saja, atau bahkan mungkin lebih enak, ketimbang nasi goreng di mulut Putera Sampoerna, Budi Hartono, atau Anthoni Salim," kata Kevin. Pada akhirnya, kata Marcus, punya selera mahal tak mesti harus punya harta ratusan miliar atau triliunan rupiah dulu.

Simak saja cerita May Dita Ginting, 28 tahun. Dia sudah tiga tahun bekerja sebagai personal shopper, tukang belanja yang membantu orang-orang yang ingin menghamburkan duit membeli barang-barang mewah. Rata-rata kliennya bukanlah anggota keluarga tajir melintir seperti keluarga Sampoerna, Bakrie, Panigoro, Hartono, atau Ciputra.

"Bahkan ada juga yang pegawai negeri," kata May kepada Kami. Biasanya, sekali belanja, kliennya ini hanya habis belasan juta rupiah. Tapi lain cerita jika dia mendapat pembayaran gaji ke-13 atau ke-14. "Sekali belanja bisa habis seratusan juta rupiah."

Belanja mungkin memang mirip 'candu'. Beberapa kliennya, menurut May, bisa kalap saat belanja barang-barang mewah. "Pernah dalam sehari dia beli berlian Rp 200 juta. Dan habis beli berlian, dia masih mau beli tas lagi.... Aku sampai bilang, 'Kak, setop, jangan lagi. Kalau minggu depan, masih bolehlah'," May menuturkan. Padahal masih ada beberapa barang lain yang masih dalam pesanan kliennya itu.

0 komentar:

Posting Komentar